Translate

Selasa, 15 Mei 2018

ISLAM TERTUDUH

Penulis: Prof.Badrul Mustafa


Paruh pertama rezim Orba Pak Harto dikelilingi oleh para perwira militer seperti Jend. Maraden Panggabean (kemudian dilanjutkan oleh kadernya Jend. Leonardus Benny Moerdhani), Laksamana Soedomo, Jend. Ali Moertopo, TB Silalahi, tokoh sipil JB Sumarlin, Raduis Prawiro dll.  Di era tersebut sampai masuk ke paruh kedua pemerintahan pak Harto, islam disudutkan dan mendapat tekanan yang luar biasa.  Banyak teror terjadi, rekayasa dll.  Dibentuknya lembaga seperti Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) adalah dengan tujuan untuk meredam gerakan umat islam yang mulai marak, dimana umat mulai banyak tertarik untuk meramaikan masjid.  


Ramainya aktivitas di masjid-masjid, terutama di perkotaan, umumnya dipelopori oleh masjid-masjid kampus perguruan tinggi.  Diakui bahwa pelopor ini semua adalah Bang Imad (Dr. Ir. Imaduddin Abdulrahim, MSc.), dosen Jurusan Teknik Elektro ITB. Beliau yang juga kader Dr. Moh. Natsir ini bersama sejumlah ulama Bandung/Jawa Barat membuat masjid Salman ITB penuh dengan kegiatan yang kreatif, yang menarik umat untuk mendatangi masjid Salman untuk belajar. 

Kemudian banyak masjid lain terinspirasi oleh pembinaan masjid Salman ITB ini, tidak saja masjid di lingkungan kota Bandung, Jawa Barat dan DKI Jakarta, bahkan juga ke berbagai kota di provinsi lain.  


Bang Imad juga sering berkeliling ke masjid-masjid kampus di berbagai provinsi untuk memberikan pengarahannya dalam mengembangkan aktivitas masjid.  Itu dilakukan beliau sejak sekitar tahun 1970.


Mulai bangkitnya kegiatan keagamaan ini nampaknya mengkhawatirkan Pak Harto yang saat itu dikelilingi oleh orang-orang seperti yang disebutkan di atas.  Melihat bangkitnya umat islam, yang dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap(kelanggengan) kekuasaannya, maka dibuatlah berbagai aturan yang membatasi dan mengekang kebebasan.  Termasuk membuat KOPKAMTIB tsb.

Pada saat itu sering terjadi teror.  Ada teror komando jihad.  Ada teror Kelompok Jamaah Imran dlsb.  Membenturkan Pancasila dengan islam adalah salahsatu upaya untuk menyudutkan umat islam.


Mengenai teror-teror tersebut, menarik untuk disimak kajian Busro Muqoddas, yang ditulis dalam disertasinya dan juga bukunya, bahwa semua itu adalah rekayasa intelijen.  Silakan searching di google dengan mengetik Busyro Muqoddas + Komando Jihad.


Sebelum tulisan Busyro Muqoddas itu keluar, orang hanya bisa menduga-duga bahwa apa yang terjadi ketika itu (antara 1970 - 1984) adalah rekayasa.  Tidak ada yang berani menuduh bahwa itu rekayasa, kecuali beberapa orang tokoh saja seperti tokoh yang tergabung dalam Petisi 50.


Banyak memang yang heran dengan berbagai kasus teror yang terjadi.  Misalnya Kelompok/Jamaah (teror) Imran.  Orang baru sadar bahwa Imran ini sesungguhnya adalah aktor rekayasa , dengan sutradaranya intelijen, setelah beberapa waktu berlalu.  Ketika itu dengan aturan ketat yang dibuat oleh rezim, orang tidak berani bicara keras menentang asas tunggal Pancasila.  Tapi herannya, kok Imran bisa bicara keras menentang asas tunggal Pancasila di masjid Istiqamah Bandung selama berhari-hari.  Ia juga bicara di berbagai tempat lain menentang asas tunggal ini.  Sementara orang lain yang bicara sama sudah ditangkap intel dan dibawa ke Kodim.


Rupanya itu memang skenarionya.  Dengan kemampuan orasinya yang hebat, Imran berhasil merekrut pemuda yang semangat islamnya sedang menyala hebat, tapi punya pikiran yang pendek.  Maka terrekrutlah nama-nama seperti Salman  Hafiz dll.  Pemuda-pemuda masjid yang militan ini terus dipanasi oleh Imran.  Akibatnya banyak pemuda jamaah Imran ini ditangkap dan ditahan di Kosekta 65 Cicendo Bandung.  Imran sendiri yang bicara lantang masih bebas.  Mungkin perannya masih dibutuhkan intelijen.


Kemudian pada 11 Maret 1981, pukul 00.30 WIB, sebanyak 14 anggota Jamaah Imran menyerbu kantor Kosekta 65 Bandung. Mereka membunuh empat anggota polisi yang tengah bertugas dan merebut sejumlah senjata.  Dengan senjata rebutan ini mereka kemudian membajak pesawat Woyla.  itulah pertama kali, dan mungkin satu-satunya sampai saat ini, pembajakan pesawat udara di Indonesia.  Hebat (sandiwara ini) bukan?


Jadi, tugas Imran yang diberikan oleh sutradara sudah jelas.  Ia berhasil merekrut pemuda dengan semangat militansi islam yang tinggi tapi pikiran sempit, lalu membuat sebuah aksi.  Buah dari aksi ini sesuai dengan yang diharapkan oleh sutradara, yakni balasan dari aparat untuk menekan islam dan  mencoreng citra islam.  Islam jadi tertuduh.  Jadilah islam itu dituduh sebagai agama teror.


Paruh kedua pemerintahan Orba Pak Harto berubah.  Beliau merangkul islam.  ICMI direstui dan diberi tempat.  Pada paruh ini umat islam aman.  Kehidupan keagamaan hidup kembali.  Pengajian-pengajian marak dimana-mana.  Tidak ada lagi larangan berkumpul lebih dari lima orang seperti sebelum tahun 1984.


Namun, ketika orde reformasi berjalan, penyakit lama muncul lagi.  Ada kemudian peristiwa bom Bali dengan pelaku antara lain Amrozi, Imam Samudera, Gufron.

Meledak bom yang sangat dahsyat yang menewaskan banyak orang.  Keheranan pun menyeruak.  Bahkan pakar militer dari Australia sendiri tidak yakin bahwa ledakan sedahsyat itu dilakukan oleh orang seperti Imam Samudera Cs.  Ini sejalan dengan penolakan Kapolri Da'i Bachtiar ketika itu terhadap usulan Ketua MPR-RI (Amien Rais) dimana Amien Rais mengusulkan agar Imam Samudra Cs melakukan rekonstruksi membuat bom seperti yang dilakukannya, lalu diledakkan di lapangan kosong untuk menjaga agar tidak timbul kerusakan/bencana.  Kapolri menolak.

Amien Rais dan sejumlah analis menduga, bahwa Amrozi Cs memang merakit dan meledakkan bom rakitannya di Bali.  Tapi pada saat yang sama meledak bom besar yang menghancurkan itu.  Bom besar inilah yang dicurigai oleh Amien Rais dan beberapa analis lain.  Inilah yang tidak terungkap.  Tepatnya (?) tidak boleh diungkap.


Dengan berhasilnya Amrozi Cs meledakkan bom, maka target tercapai, yakni umat islam yang diwakili Amrozi Cs menjadi tertuduh sebagai agama teror.  islam itu teroris.


Jadi, Amrozi, Imam Samudra, dan Gufron Cs ini sama saja dengan Salman Hafiz dan kelompok Jamaah Imran dulu adalah pemuda militan tapi berpikiran sempit.  Mereka mudah direkrut untuk jadi "pemain" yang tanpa mereka sadari merusak citra islam.


Orang-orang seperti ini mungkin masih banyak.  Mereka mudah dipancing, dipanas-panasi dan difasilitasi untuk melakukan sebuah aksi.  Nah, melihat hal seperti ini, tentu kita kasihan san mungkin juga marah kepada orang-orang yang mudah terpancing ini.  Tapi tentu kita harusnya sangat marah kepada para pemancing?  Merekalah provokator yang sesungguhnya.  Pemerintah harus menyelidiki/mengungkap ini.  Harus dihentikan.


Cara menghentikannya adalah, aparat yang ditugaskan untuk melawan terorisme harus menangkap hidup-hidup pelaku teror, lalu diadili.  Di sidang pengadilan in syaa Allah akan terungkap apakah ini murni teror atau rekayasa.  Bisa terungkap pula siapa sutradara dan motifnya.


----------------------------

Pada kasus bom bunuh diri misalnya, saya masih ingat nama Asmar Latinsani yang meledakkan bom sekaligus ia terbunuh di sebuah halaman hotel.  Orang langsung menuduh ini teror dari seorang muslim.  Namanya sangat muslim.  Tapi, apakah kita tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tewasnya Asmar ini?  Siapa tahu, ia yg mungkin seorang yang lugu, yg tidak tahu apa-apa, disuruh oleh seseorang untuk mengantarkan sesuatu barang kepada seorang tamu di sebuah hotel.  Lalu di mobil tersebut diletakkan sebuah bom yang tombol bomnya dipegang oleh sutradara?

Tidak ada komentar:

PESONA DANAU KEMBAR

Serupa tapi tak sama namun keindahannya sebanding, itulah Danau Di Atas dan Danau Di Bawah di Solok, Sumatera Barat. Kedua danau ini berdamp...