Translate

Jumat, 30 Agustus 2019

MAMBACO TAMBO MINANGKABAU

“Alam Takambang Jadi Guru“

 “Ketika Neil Amstrong mendarat di bulan, dia menemukan sebuah restoran Padang yang sudah lebih dulu ada di sana,” demikian sebuah kelakar yang dikutip Tsuyoshi Kato (2005: 6) tentang kehebatan orang Minangkabau merantau. Kato (2005: xiii)  mengajukan tiga ciri sosial Minangkabau yang diketahui umum, yaitu: ketaatan kepada agama Islam, sistem kekerabatan matrilineal, dan kebiasaan merantau.

Sebenarnya, ketaatan terhadap agama Islam dan sistem matrilineal adalah sebuah paradoks, karena terdapat dua sistem yang “bertentangan” dalam kehidupan orang Minangkabau, Islam yang menerapkan patrilineal dengan adat yang menganut sistem matrilineal. Banyak ilmuwan meragukan keberlanjutan adat dan masyarakat Minangkabau, dan meramalkan bahwa masyarakat Minangkabau akan mengalami kepunahan karena menganut dua hal yang bertentangan.

Semangat merantau juga diperkirakan melunturkan kecintaan terhadap adat, dan para perantau akan meninggalkan adat Minangkabau. Sehingga diramalkan suatu saat adat Minangkabau tidak lagi dipakai oleh para perantau, baik yang berada di rantau, atau oleh mereka yang kembali dari rantau, karena mengalami dan menemui budaya baru di rantau.

Tetapi semua ramalan tersebut sampai saat ini (tahun 2013) belum menunjukkan bukti yang signifikan. Masyarakat Minangkabau dengan tiga ciri sosial tersebut masih bertahan dan eksis, sementara masyarakat Minangkabau dengan adatnya tetap bertahan melewati berbagai perubahan dunia di sekelilingnya.

Minangkabau merupakan etnis matrilineal terbesar yang masih bertahan di zaman modern yang didominasi sistem kekerabatan patrilineal. Etnis lain yang juga menganut sistem matrilineal umumnya sudah meredup dan dapat dinyatakan menuju kepunahan. Sebaliknya, Minangkabau dengan adatnya tetap eksis, bahkan secara relatif makin berkembang dalam beberapa segi.  Perkembangan politik di Indonesia memberi tambahan eksistensi Minangkabau dengan banyaknya tokoh-tokoh masyarakat yang diangkat atau dibesarkan oleh adat Minangkabau dengan berbagai atributnya, seperti pemberian gelar adat atau gelar kebesaran kerajaan. Meskipun tidak seluruh lapisan mendukung kegiatan-kegiatan pemberian gelar tersebut, namun secara timbal balik, kegiatan pemberian gelar dan semacamnya, meningkatkan citra si tokoh, sekaligus, meningkatkan citra eksistensi adat dan masyarakat Minangkabau.

Eksistensi adat dan budaya Minangkabau tidak hanya bertahan dan berkembang di tempat asalnya, Sumatera Barat. Eksistensi tersebut tidak kalah semarak perkembangannya di “rantau”, di wilayah lain yang menjadi tempat orang Minangkabau melakukan perantauan, di seluruh dunia. Seperti kutipan Kato di awal tulisan ini. Siapapun dapat menemukan restoran Padang di berbagai kota besar di seluruh dunia. Di restoran Padang, antara lain, berbagai pernik adat Minangkabau bertahan dan berkembang.

Keberlanjutan dan perkembangan adat Minangkabau mungkin tidak sepenuhnya dianggap positif, terutama oleh para pemerhati dan pencinta adat yang idealis, atau mereka yang menginginkan adat yang “murni” sesuai yang diwariskan nenek moyang. Mungkin sekali sudah banyak perkembangan yang tidak lagi seperti yang ideal dahulunya. Atau mungkin juga nilai-nilai adat yang berkembang tidak lagi yang murni, yang ideal. Mungkin terdapat sebagian kritikus dan pemerhati yang mencemaskan arah perkembangan tersebut.

Pada dasarnya, adat dan budaya Minangkabau masih ada dan masih berkembang, Apapun kecemasan dan anggapan terhadap eksistensi dan perkembangan adat Minangkabau, positif maupun negatif. Orang Minangkabau dengan adatnya, secara relatif, masih berlanjut di zaman ini. Minangkabau masih eksis dan berlanjut secara kultural, di tingkat pelaku individual, komunal, maupun secara global.

Kebertahanan adat Minangkabau yang mengandung paradoks tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban. Apakah faktor atau ornament internal budaya yang berperan mempertahankan dan melanjutkan eksistensi adat dan budaya Minangkabau? Adakah lembaga sosial atau lembaga adat atau budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat, yang berperan mewariskan nilai-nilai adat dari generasi ke generasi masyarakat Minangkabau?

2. Tambo sebagai Media Pewarisan Nilai

Djamaris menyatakan bahwa Tambo-lah yang berperan dalam mempertahankan nilai-nilai adat tersebut. Dalam buku Tambo Minangkabau, Djamaris (1991 :76 dan 204) menghubungkan tambo dengan pendapat Danandjaja:

“Sesuai dengan tema Tambo Minangkabau, fungsi cerita Tambo Minangkabau adalah mengukuhkan kedudukan adat di samping agama Islam, mengukuhkan aturan adat mengenai pewarisan harta pusaka kepada kemenakan, dan mengukuhkan kedudukan penghulu sebagai pemimpin dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan dua fungsi cerita rakyat sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota masyarakat (Danandjaja, 1984 : 19).

Menurut Bascom, dalam Danandjaja (1984 :19) fungsi cerita rakyat ada empat, yaitu: sebagai alat proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu golongan masyarakat; sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; sebagai alat pendidikan; dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota masyarakat;

Fungsi folklor menurut Bascom (1965b: 280) tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteksnya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya (Bascom, 1965a: 285). Pemilik folklor tidak menganggap penting asal-usul atau sumber folklornya, melainkan fungsi dari folklor itu lebih menarik mereka. Fungsi folklor menurut Dundes, bukan hanya empat, melainkan lebih dari itu. Di antara sekian banyak fungsi folklor, kata Dundes (1965a: 277), ada fungsi yang bersifat umum, yakni sebagai: (1) alat pendidikan, (2) peningkat perasaan solidaritas kelompok, (3) pengunggul dan pencela orang lain, (4) pelipur lara, dan (5) kritik masyarakat.

Dundes (1965: 277) menyatakan beberapa fungsi umum folklor, yaitu: (1) membantu pendidikan anak muda (aiding in the education of the young), (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok (promoting a group’s feeling of solidarity), memberi sanksi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman (providing socially sanctioned way is for individuals to act superior to or to cencure other individuals) (4) sebagai sarana kritik sosial (serving as a vehicle for social protest), (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan (offering an enjoyable escape from reality), dan (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan (converting dull work into play).

Bagaimana paradigma pendidikan Minangkabau? Atau, bagaimana masyarakat Minangkabau mewariskan nilai2 adatnya?

3. Apa sesungguhnya Tambo Minangkabau?

3.1  Tambo Bukan yang Tertulis

Selama ini, sebagian besar masyarakat pemerhati Minangkabau menganggap Tambo Minangkabau (selanjutnya TM) adalah buku-buku yang ditulis dengan judul “Tambo Minangkabau”, atau buku-buku lainnya yang memakai nama “tambo”. Padahal, TM bukan hanya yang ditulis tersebut. Ada empat macam TM, yaitu: Tambo yang Terserak, Tambo yang Tersurat, Tambo yang Tersirat, Tambo yang Tersuruk.

Tambo jenis pertama adalah TM menjadi bagian terpenting yang memberi inspirasi filosofis dalam prosesi adat apapun. TM menjadi ungkapan-ungkapan penting dalam pasambahan, panitahan, pidato adat, basurah adat, kato bajawek-gayuang basambuik,  dan semua ucapan resmi dalam upacara adat Minangkabau.  Ungkapan dan ucapan resmi prosesi adat dan komunikasi lisan itu masih berlangsung masif dalam masyarakat sampai saat ini. Bahkan isi TM menjadi ungkapan sehari-hari dengan nilai tinggi dan terhormat bagi pemakai dan pendengarnya. Tambo lisan yang masih tetap diucapkan dan menyebar di tengah masyarakat ini disebut “Tambo nan Taserak”,  Tambo yang Terserak, tambo yang tersebar di mana-mana. TM lisan inilah yang menyebar dan diwariskan sejak dahulu kala, diwariskan sebagai sastra lisan yang terus-menerus dipakai sampai saat sekarang. Inilah tambo yang sesungguhnya. Inilah TM yang menjadi sumber bagi tambo jenis kedua, ketiga, dan keempat.

Tambo jenis kedua, Tambo nan Tasurek, Tambo yang Tertulis, hanyalah jenis tambo generasi baru, hasil karya para penulis berdasarkan pengetahuan mereka mengenai tambo jenis pertama. Tyuyoshi Kato (2006) dalam buku Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, halaman 17 menulis: “Tambo, yang pada mulanya disampaikan secara lisan dan kemudian ditulis dalam huruf Arab, merupakan himpunan cerita-cerita tentang asal-usul dan peraturan-peraturan adat (hukum adat).”

Tambo tertulis paling tua diperkirakan muncul pada periode  perang Paderi (1803-1838). Tambo tertulis yang ditemukan sekarang, jauh lebih muda, seperti Di Radjo (ditulis tahun 1919, cetakan yang masih ada 1954), Datoek Toeah (cetakan yang masih ada 1956).

Tambo lisan jauh lebih tua daripada tambo tertulis. Pewarisan tambo lisan lebih masif, dilakukan oleh seluruh pelaku adat Minangkabau dalam seluruh upacara adat, bahkan dalam keseharian orang Minangkabau.  Setiap orang Minangkabau sangat biasa menggunakan pepatah/petitih adat dalam ucapan dan komunikasi mereka setiap hari. Ada kebanggaan dan gengsi jika seseorang dapat mengutip satu-dua pepatah/petitih atau ungkapan petuah adat, dalam komunikasi mereka sehari-hari.

Jadi, TM tertulis bukanlah tambo yang sesungguhnya, karena tambo tertulis hanyalah satu jenis tambo hasil penulisan tambo lisan dari pemerhati atau pengguna tambo lisan. Seperti yang  selalu dinyatakan para penulis tambo, juga penyampai tambo lisan:

Kaik bakaik rotan sago// Alah takaik di aka baha// Tabang ka langik tabarito// tibo di bumi jadi kaba

Banda urang kami bandakan// Banda urang Koto Tuo// Kaba urang kami kabakan// Duto urang kami ndak sato

Ini adalah pola/bentuk pertanggungjawaban seperti catatan kaki atau kutipan/rujukan dalam karya ilmiah. Penulis atau penyampai tambo selalu memberi tahu bahwa mereka bukan pengarang tambo tersebut. Mereka hanyalah penyampai, penyambung lidah dari niniak muyang yang meninggalkan/mewariskan tambo.

Tambo sebenarnya tidak (yang) tertulis. Tambo generasi pertama adalah sastra lisan, yang disebut “Tambo nan taserak di galanggang.” Tambo yang tertulis, “Tambo nan tasurek” adalah jenis tambo generasi terakhir, ketika masyarakat sudah mengenal aksara/huruf. Ada beberapa aksara yang pernah bersinggungan dengan masyarakat Minangkabau.  Yang paling intens adalah:

a. aksara/huruf Pallawa bahasa Melayu Kuno; 600-an Masehi,

b. aksara Arab/Melayu, bahasa Melayu/Minangkabau; 1400-1900-an M,

c. aksara Latin, bahasa Melayu/Minangkabau, 1900-an M s/d sekarang.

Kalau ada anggapan bahwa yang paling berpengaruh terhadap ingatan masyarakat Minangkabau adalah Tambo nan tasurek, maka itu sebuah kekeliruan. Tambo nan tasurek hanya bagian kecil dari ingatan masyarakat Minangkabau, dan hanya sebagian kecil masyarakat Minangkabau yang pernah menyentuhnya. Para penghulu sebagian besar masih buta huruf sampai pertengahan abad ke-20. Tapi isi kepala mereka hampir semua berisi Tambo.

Tambo yang paling banyak dan terus menerus diwariskan adalah nan taserak di galanggang, karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat bahasa lisan sepanjang sejarah.

3.2. Tambo Bukan Sejarah

Sebagian besar pengritik TM, seperti Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP), menganggap TM berisikan kisah atau riwayat niniak muyang orang Minangkabau. Para pengritik umumnya memandang TM adalah “catatan sejarah” Minangkabau. Sebagian masyarakat Minangkabau juga mengartikan TM sebagai sejarah Minangkabau.

Sesungguhnya isi atau muatan TM bukanlah sejarah. Kalaupun ada bagian TM berisi kaba atau kisah niniak muyang, itu belum dapat dinyatakan sebagai sejarah, sebelum memahami apa sebenarnya isi dan maksud niniak muyang meninggalkan kisah tersebut. Lebih dari itu, bagian TM yang berupa kisah atau kaba tersebut hanyalah bagian kecil dari tambo, baik tambo yang tertulis maupun tambo lisan.

Bagian tambo yang populer memang bagian kisah yang sering dikritik sebagai “tidak logis”, tidak masuk akal, khayal dan sebagainya. Seperti ditulis MOP dalam buku Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.

“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679).

Ketika TM dianggap sejarah, maka cara pandang seperti MOP tidak dapat disalahkan. Perlu dikaji ulang seluruh isi tambo yang dituduh MOP sebagai sejarah yang irrasional. Tiga kaba yang kontroversial, yang paling lekat dalam ingatan masyarakat adalah “Kaba Alun Baralun,” “Kisah Adu Kabau”, dan “Kaba Cindua Mato”. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah ketiga kaba kontroversial tersebut catatan sejarah? Bagaimana sesungguhnya posisi dan fungsi kaba tersebut dalam TM?

Menjawab pertanyaan pertama perlu klarifikasi tentang isi/muatan dan maksud/tujuan tambo. Kaba dalam TM bukan dimaksdkan sebagai sejarah, tapi jejak kearifan yang ditinggalkan niniak muyang tentang masa lalu. Di dalam kaba tersebut justru ada kearifan untuk menghapus/ menyembunyikan/ menutupi peristiwa sejarah yang kelam, yang tidak perlu diceritakan secara terbuka. TM bukanlah sejarah, karena justru mengandung maksud menghapus/ menyembunyikan/ menutupi peristiwa sejarah.

Pertanyaan kedua harus menjadi perhatian, karena telah terjadi reduksi pemahaman tentang TM. Selama ini TM dipahami atau dianggap hanyalah tiga kaba kontroversial tersebut. Padahal, ketiga kaba tersebut hanyalah bagian kecil dari TM.

Buku Tambo Alam Minangkabau, karya Hadji Datoek Toeah (1957) berisi 55 nomor (bab) 268 halaman. Dari 55 bab tersebut terdapat 3 bab yang memuat ketiga kaba kontroversial tersebut, yaitu: bab (1) Mula-mula manusia berkembang; bab (19) Minang Kabau; bab (35) Bundo Kandung dan anaknya.  Selain tiga bab tersebut, sebanyak 52 bab berbicara tentang aturan-aturan, undang-undang, pedoman bagi penghulu, pemimpin, kehidupan bermasyarakat, dan semua ketentuan-ketentuan adat Minangkabau.

Kitab Tjoerai Paparan Adat Limbago Alam Minangkabau, karya Datoe’ Sanggoeno Di Radjo berisi 39 bagian, 161 pasal, 229 halaman. Hanya pasal (2) dan (3) yang memuat kaba Alun Baralun, ditambah 5 pasal berikutnya tentang pendirian nagari-nagari pertama. Selebihnya, sebanyak  150-an  pasal berisi aturan-aturan, undang-undang, pedoman bagi penghulu, pemimpin, kehidupan bermasyarakat, dan semua ketentuan-ketentuan adat Minangkabau.

Dari dua contoh buku tandon yang menjadi rujukan para pengritik TM terlihat nyata, bahwa TM tertulis bukan buku sejarah, tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, karena lebih 90 % isinya mengenai aturan-aturan, undang-undang, pedoman kehidupan, ketentuan-ketentuan adat Minangkabau. Sebagaimana MOP menyatakan:  “…mythos2 tanpa angka2 tahunan…”,  ketiga kaba dalam TM tidak memuat angka-angka tahunan, (sangat mungkin) tidak memuat tokoh sejarah riil, (sangat mungkin) tidak terikat konteks peristiwa riil. Mengapa? Karena ketiga kaba tersebut bukan sejarah!

Ketiga kaba kontroversial tersebut bukan sejarah, dan hanya bagian kecil dalam TM. Bagian besar TM justru memuat aturan-aturan, undang-undang, pedoman kehidupan, ketentuan-ketentuan adat Minangkabau. Maka tidak dapat tidak, TM bukan sejarah!

4.  Tambo Minangkabau Tereduksi Berulangkali

4.1. Reduksi TM oleh Para Penulis Awal

TM yang dipakai bahan rujukan sebagian besar peneliti adalah karya generasi penulis awal yang masih dapat ditemui. Secara umum TM yang muncul di awal abad ke-20 tersebut tampil “utuh”. Para penulis masih menampilkan seluruh tuturan TM secara menyeluruh, holistik, komprehensif. Dalam TM generasi pertama tersebut ditemui semua unsur nyaris lengkap. Isi TM memuat kaba, pedoman hidup bernagari, pedoman bagi penghulu, UUM, pedoman berkata-kata, dan semua pedoman hidup orang Minangkabau.

Ada reduksi pada TM generasi tersebut ketika TM sebagai sastra lisan dialihbahasakan menjadi bahasa tulis. Rasa bahasa lisan menjadi berubah dan sebagian menjadi hilang.

Penulis TM generasi awal masih meninggalkan jejak ninik muyang relatif utuh. Walaupun ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi (sebelum menjadi Bahasa Indonesia), TM generasi awal tetap berusaha menampilkan TM secara utuh: Kaba, pedoman-pedoman adat dan kehidupan, dan UUM. TM tertulis generasi awal ini antara lain:

Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo, 1919, Tjoeraian Adat Minangkabau,
Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo, 1919, Tjoerai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau,
Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo Dahler Abdul Madjid Sm. Hk, Radjo Mangkuto (Datuk.), 1979, Mustika Adat Alam Minangkabau, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah;
A Adnan Sutan Mangkuto, 1960, Masjarakat, Adat dan Lembaga Minangkabau;
Hadji Datoeak Toeah, 1954, Tambo Alam Minangkabau.
Djamaloe’ddin gelar Soetan Maharadjo Lelo, 1956, Tambo Adat Minangkabau,
Bahar Datuk Nagari Basa, 1966, Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau, Payakumbuh: Eleonora.


4.2. Reduksi TM oleh Para Peneliti

Para peneliti selalu memisahkan bagian kaba dengan bagian terbesar TM, Undang-Undang Minangkabau (UUM). Djamaris (2001) misalnya, membagi pembahasan tentang sastra Minangkabau dalam 3 kelompok besar: puisi, prosa, drama tradisional. Djamaris memasukkan Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau ke dalam kelompok puisi, butir ke-7 setelah mantra, pantun, talibun, pepatah-petitih, teka-teki, dan syair. Prosa dibagi Djamaris menjadi empat: curito, kaba, TM dan UUM. TM dimasukkan Djamaris ke dalam butir dari prosa, pada butir 2.3. Secara ringkas terlihat dalam bagan berikut.

Berikut ini bagan posisi TM dalam buku Pengantar Sastra Minangkabau:

1. Puisi
1.1. Mantra
1.2. Pantun
1.3. Talibun
1.4. Pepatah=petitih
1.7. Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau
2. Prosa
2.1. Curito
2.2. Kaba
2.2.1. Kaba Lama
2.2.1.1. Kaba Cindua Mato
2.2.1.2. Kaba si Untuang Sudah
2.3. Tambo Minangkabau
2.4. Undang-undang Minangkabau (UUM).
Djamaris memisahkan Kaba Cindua Mato dari TM, memasukkannya sebagai salah satu contoh Kaba Lama, sama dengan Kaba si Untuang Sudah, Kaba Magek Manandin, Kaba Malin Deman dan Puti Bungsu, Kaba Rambun Pamenan, dan Kaba si Umbuik Mudo. Sebagai kaba, hal tersebut dapat dipahami. Tapi, Kaba Cindua Mato adalah kaba yang selalu ada dan menjadi bagian TM. Kaba yang lain di atas sama sekali tidak terkait dengan TM.

Kaba Alun Baralun dan Kisah Adu Kabau, tidak dimasukkan sebagai bagian Kaba Lama, tapi dimasukkan ke dalam bagian isi cerita TM. Dengan kata lain, menurut pandangan Djamaris, TM adalah Kaba Alun Baralun dan Kisah Adu Kabau, tidak termasuk Kaba Cindua Mato, dan tidak termasuk UUM yang senantiasa menjadi bagian naskah TM manapun.

Lebih jauh, TM dipisahkan dengan jenis-jenis puisi lainnya: mantra, pantun, talibun, pepatah-petitih, teka-teki, dan syair. Pemisahan ini menyatakan bahwa TM berbeda dengan dan tidak memuat semua jenis puisi tersebut. Padahal, setiap naskah tambo, naskah UUM selalu hadir dalam bentuk-bentuk tersebut: pantun, pepatah-petitih, bahkan syair, dan talibun.

Pemisahan TM dari Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau, membuat pemahaman bahwa TM tidak berkaitan dan berbeda dengan Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau. Di dunia nyata Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau selalu menggunakan TM sebagai isi /muatan utamanya.

Dari pembagian di atas terlihat bahwa TM telah mengalami reduksi luar biasa, tercerai-berai dan tidak lagi dipahami secara utuh sebagaimana adanya. TM yang ditulis berdasarkan lisan pelaku adat, telah mengalami reduksi karena peralihan bahasa lisan menjadi bahasa tulis. Kajian dan peneliti sastra Minangkabau memperlakukan TM sebagai serangkaian karya yang terpecah-pecah: ada puisi, ada kaba, ada undang-undang. Reduksi TM makin parah ketika sebagian kaba dianggap sebagai keseluruhan TM, dengan mengeluarkan kaba lainnya, dan memisahkan bagian besar terpenting UUM sebagai jenis lain yang bukan TM. TM dalam kajian sastra dipecah-pecah dan terpisah dari isinya: pantun, pepatah-petitih, Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau, Kaba dan UUM sebagai bagian terpenting TM. TM tereduksi dan diartikan hanya sebagai Kaba Alun Baralun.

Tsuyoshi Kato (2006) dalam buku Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, halaman 17-18 menulis:

“…”tambo” (secara harfiah berarti cerita-cerita dari masa lalu atau historiografi tradisional). Tambo, yang pada mulanya disampaikan secara lisan dan kemudian ditulis dalam huruf arab, merupakan himpunan cerita-cerita tentang asal-usul dan peraturan-peraturan adat (hukum adat). Tambo menguraikan tentang pembentukan Alam Minangkabau, menentukan batas-batasnya, dan merinci hubungan antara darek dan rantau. Selanjutnya tambo menerangkan lahirnya adat dan menguraikan aturan-aturan hukum mengenai kemasyarakatan, hubungan antarindividu dan perilaku yang wajar.

Ada banyak versi tambo yang pada umumnya saling menyokong antara satu dan yang lainnya. Sesuatu yang menjadi ciri khasnya, tambo dimulai dengan kisah penciptaan Alam Minangkabau:…”

Dalam tulisan ini Kato berpikir sangat holistik, komprehensif. Tambo dipandang Kato sebagai: “…  (karya) lisan dan kemudian ditulis…,  … himpunan cerita-cerita tentang asal-usul dan peraturan-peraturan adat (hukum adat)…, tambo menerangkan lahirnya adat dan menguraikan aturan-aturan hukum mengenai kemasyarakatan, hubungan antarindividu dan perilaku yang wajar.”

Kato (2006: 26) membandingkan cara pandang adat Melayu dengan tambo:

“Ada ungkapan Melayu yang mengatakan “Adat dipegang oleh raja, dan rajalah yang beradat. Ada raja, adat berdiri, hilang raja, adat pun mati”. Ungkapan seperti ini tidak dikenal oleh orang Minangkabau. Yang Dipertuan bukan Alam Minangkabau, tetapi hanya sebagian darinya. Apa saja yang ditentukannya bukanlah kerajaan, melainkan Alam Minangkabau. Sejarah Minangkabau bukan silsilah dari urutan raja-raja tetapi tambo, yang menghimpun cerita-cerita tentang permulaan Alam dan perkembangannya, aturan-aturan dan hukum-hukum untuk perilaku yang wajar, dan perbatasan untuk Alam itu.”

Terdapat sedikit reduksi Tambo Minangkabau dalam buku Kato. Awalnya Kato memperlakukan kaba sebagai bagian integral dari tambo, kemudian dia seolah-olah meninggalkan kaba, memperlakukannya sebagai sebuah historiografi yang terlepas dari peraturan-peraturan adat (hukum adat).

Para peneliti mancanegara yang tertarik terhadap Minangkabau, sebagaimana Kato, umumnya tidak mengutak-atik Tambo Minangkabau. Mereka hanya mengutip bagian-bagian Tambo Minangkabau, atau menganalisis topik/tema tertentu dari Tambo Minangkabau minat dan sesuai perhatian mereka.

Tsuyoshi Kato, 1977, Social Change in a Centrifugal Society: The Minangkabau or West Sumatra (disertasi doktor, University Cornell).
Elizabeth E Graves, 1981, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century, Itacha, NY: Cornell Southeast Asia Program Publication. (diterjemahkan: Novi Andri, dkk, 2007, Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
Joel S Kahn, 1993, Constituting the Minangkabau: Peasan, culture, and modernity in colonial Indonesia.
Joel S Kahn, 2007, Minangkabau Social Formation: Indonesian Peasants and the World-Economy, London: Cambridge University Press;
Lyn L Thomas, 1985, Change and Contonuity in Minangkabau: Local, Regional, and Historical Perspectives on West Sumatra, Ohio: Ohio University Center for International Studies;
Franz von Benda-Beckmann, 1979, Property in social continuity: continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra, Leiden: Martinus Nijhoff;
Marcel Vellinga, 2004, Constituting Unity And Difference: Vernacular Architecture In a Minangkabau Village, Jakarta: KITLV Press
Renske Laura Biezeveld, 2002, Between Individualism And Mutual Help: Social Security And Natural Resources In A Minangkabau Village, Delft, the Netherlands: Eburon Publishers Ubbels
Jeffrey Alan Hadler, 2008, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism, USA: Cornell University Press;
Jeffrey Alan Hadler, 2002, Places Like Home: Islam, Matriliny, and the History of Family in Minangkabau,UMI.
Evelyn Blackwood, 2000, Webs of Power: Women, Kin, and Community in Sumatran Village, Oxford England: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Kesebelas buku tersebut, sekedar contoh, merujuk “begitu saja” kepada Tambo Minangkabau, dan menerima Tambo Minangkabau sebagai sejarah Minangkabau, atau merujuk kepada UUM tanpa mempedulikan hubungan UUM dengan TM.
Berikut ini contoh perlakuan peneliti mancanegara terhadap TM.

Kato (1977) sebagaimana dikutip Blackwood(2000 :78):

“Menurut tambo, daerah yang tercakup dalam pengaruh Minangkabau disebut Alam Minangkabau,…”
Blackwood (2000: 73) menulis:

“…an expectation of cooperation and generosity contained in the Minangkabau ideal of mutual assistance (tolong-menolong)—that draws on certain Minangkabau notions of gender. According to Minangkabau folk stories (tambo), sons are expected to go out (merantau)…”

Kato memperbaiki cara pandangnya terhadap TM hampir 30 tahun kemudian. Tahun 2006 Kato (2006: 18) menulis:

“Dunia tambo itu adalah dunia tanpa sejarah, tetapi pada saat yang sama ia sarat dengan makna sejarah. Tambo tidak didasarkan pada titik waktu sejarah tertentu, tetapi merupakan rencana induk dari masyarakat Minangkabau…., rencana induk itu nyatanya tidak merupakan dunia mimpi.”

4.3. Reduksi Tambo Minangkabau oleh Para Penulis Mutakhir

TM masih tetap ditulis oleh para penulis mutakhir, terutama mereka yang sangat rindu kembali “Mambangkik Batang Tarandam,” membangkitkan kembali khasanah adat dan budaya Minangkabau. Terdapat sejumlah penulis mutakhir dengan intens mengumpulkan isi Tambo Minangkabau sedemikian rupa, dalam berbagai tulisan.

Penulis pertama adalah Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu dengan bukunya: Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau (1968, 1973, 1984a, 1994), Buku Pegangan Penghulu di Minangkabau (1978), Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau (1984b), Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau (1984c, 1994).

Idrus Hakimy mengumpulkan sangat banyak isi TM, tapi melakukan dua reduksi yang sangat besar: pertama menghapus/menghilangkan kaba sebagai bagian TM; kedua memecah-mecah, memisah-misahkan isi tambo menjadi bagian-bagian pedoman, memisah-misahkan berdasarkan jenis dan bentuk tuturan: pantun, gurindam, petuah, dll.

Buku-buku Idrus Hakimy seolah menyatakan bahwa “pengetahuan adat” terpisah dari “pegangan penghulu”, terpisah dari “pidato alua pasambahan”, dan terpisah dari “kaba”. Dalam buku Rangkaian Mustika Idrus Hakimy melepaskan semua bentuk pantun, gurindam, petuah dll., sebagai sekumpulan kekayaan yang tercerai-berai tanpa kaitan satu sama lain.

Para penulis berikutnya mengikuti pola penulisan Idrus Hakimy, memisahkan sama sekali masing-masing bagian TM menjadi sebuah tulisan lepas yang tidak punya kaitan satu dengan yang lainnya. Perhatikan buku-buku adat Minangkabau sampai tahun 2011 berikut.

M Rasjid Manggis Dt Radjo Panghulu, 1982, Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya, Jakarta: Mutiara.
St Mahmoed dan A Manan Rajo Penghulu (1987) mereduksi Tambo Minangkabau dengan membahas hanya bagian kaba, membahas dan mengaitkan kaba dengan bukti-bukti sejarah. Dengan “semangat” kesejarahan dan “semangat” membela Tambo Minangkabau, mereka mereduksi Tambo Minangkabau menjadi hanya kaba.
Amir MS, 1987, Tonggak Tuo Budaya Minang, Jakarta: Karya Indah;
Amir MS, 1997, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta: Mutiara Sumber Widya;
Amir MS, 2003, Tanya Jawab Adat Minangkabau:Hubungan Mamak Rumah dengan Sumando, Jakarta: Mutiara Sumber Widya;
Amir MS, 2007, Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah, Jakarta: Mutiara Sumber Widya;
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, 2000, Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau, Padang: Yayasan Sako Batuah;
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, 2002, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padang: LKAAM Sumbar;
Sjafnir Abu Nain, 2006, Sirih Pinang Adat Minangkabau:Pengetahuan Adat Minangkabau Tematis, Padang: Sentra Budaya.
H Ch N Latif, S.H., M.Si., Dt Bandaro, 2002, Etnis dan Adat Minangkabau, Permasalahan dan Hari Depannya, Bandung: Angkasa.
Herwandi (ed.), 2004, Mambangkik Batang Tarandam, Kumpulan Makalah Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau,
H Julius Dt Malako Nan Putiah, 2007, Mambangkik Batang Tarandam, dalam Upaya Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, Bandung: Citra Umbara.
Iskandar Kemal, 2009, Pemerintahan Nagari Minangkabau & Perkembangannya, Tinjauan Tentang Kerapatan Adat, Yogyakarta: Graha Ilmu.
H Musyair Zainuddin, M.S., 2010, Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau, Yogyakarta: Ombak.
Dr Chairul Anwar, S.H., Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau,
Muchsis Muchtar St Bandaro Putiah, 2011, Menelusuri Kembali Warisan Nenek Moyang Kita, Alam Takambang Jadi Guru, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Jakarta: Yayasan Nuansa Bangsa.
Sepuluh tahun terakhir para pencinta Minangkabau berduyun-duyun menulis tentang Minangkabau berdasarkan TM. TM mereka pahami melalui berbagai media, buku, pengalaman hidup, serta melalui penelitian. Sebagian besar mengulang-ulang isi tambo, menafsirkannya dan mengaitkannya dengan berbagai hal, termasuk perkembangan dunia modern.

Para penulis mutakhir umumnya menulis berdasarkan tema atau topik yang mereka susun, kemudian mencari bagian-bagian TM yang menurut mereka relevan dengan tema atau topik yang mereka pilih. TM dijadikan bahan “sandaran filosofis” untuk menjawab tema atau topik yang telah mereka pikirkan. TM diperlakukan sebagai “tempat merujuk” untuk memberi penjelasan: beginilah menurut adat Minangkabau.

Peneliti tingkat dunia seperti Tsoyushi Kato juga melakukan hal yang sama. Kato mengambil TM sebagai rujukan, tanpa berniat untuk memahami TM secara komprehensif holistik, sebagaimana pernyataannya. Kato tidak peduli dengan kontroversi kaba sebagai bagian TM. Kato dengan santai mengutip hampir utuh Kaba Alun Baralun, sejak dari: “Pada mulanya, yang ada hanyalah Cahaya Muhammad (Nur Muhammad), dan….” sampai kisah dua datuk membagi kalarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang.”

Tidak ada kritik dari Kato, tapi juga tidak ada pernyataan menerima kaba tersebut sebagai sejarah. Kato (200: 18) hanya menampilkan begitu saja. Kato memberi pengantar dengan sebuah pernyataan yang ambigu, bahwa: “…tambo itu adalah dunia tanpa sejarah. Tambo tidak didasarkan pada titik waktu sejarah tertentu, tetapi merupakan rencana induk dari masyarakat Minangkabau…., rencana induk itu nyatanya tidak merupakan dunia mimpi.”

Belum ada pernyataan menerima atau menolak keberadaan kaba sebagai bagian TM.

5. Mamahami Esensi dan Bagian Penting TM

Para sejarawan memandang Tambo Minangkabau sebagai 2% sejarah 98% mitologi. Tidak kurang sejarawan Minangkabau sendiri menyatakan demikian. Mansoer (1970) dalam buku Sedjarah Minangkabau yang menulis demikian.

Telah dibahas bahwa Tambo Minangkabau bukan sejarah. Bagian kaba yang dipandang sebagai “sumber” bagi sejarawan hanyalah bagian kecil dari Tambo Minangkabau. Tambo Minangkabau yang ditulis tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, seperti ditulis Di Radjo (1919: 223-227):

“Bagaimana asal mulanja saja dapat mengoesahakan boekoe ‘adat kita ini,…

 …sedjak kira-kira 7 tahoen dahoeloe dari mengarangkan kisah ini ….
semangkin hari semangkin lekatlah kasih sajang hati saja kepada adat lembaga kita jang amat baik itoe di ‘Alam Menangkabau ini.

…sebab radjin bergoeroe bertanja, tentangan seloek beloek ‘adat lembaga kita itoe, saja poen amat soeka poela membatja dan menjelidiki boenjinja tambo-tambo ‘adat Menangkabau, dan Tjoerai Paparan dari orang toea-toea, serta boenji dan maksoednja pepatah ‘adat,…”

Penulis tambo tidak menganggap Tambo Minangkabau sebagai sejarah an sich. Dorongan terbesar, tujuan utama mereka adalah mengoesahakan boekoe ‘adat , merekam seloek beloek ‘adat, bukan kaba, bukan kisah. Yang menjadi bagian terpenting bagi penulis adalah mengoesahakan boekoe ‘adat, mewariskan seloek beloek ‘adat kepada generasi penerus. Kalaupun kaba “dianggap sebagai sejarah”, itu hanya bagian kecil dari Tambo Minangkabau. Bagian terbesar Tambo Minangkabau justru memuat UUM, yang disebut Di Radjo sebagai boekoe ‘adat, sebagai seloek beloek ‘adat.

Bagi sejarawan, hanya fakta sejarah lah yang bernilai pada Tambo Minangkabau. Sejarawan menyatakan bahwa hanya 2% Tambo Minangkabau yang bernilai sejarah, yang 98% lebihnya adalah lumpur (!) yang tidak penting, yang malah menutupi (?) sejarah yang begitu penting.  Sejarawan yang membaca Tambo Minangkabau seperti ungkapan:
“Sagalo nan di muko dianggap paku, karano di puro hanyo ado panokok; Karano di tangan hanyo ado  sapu, sagalo nan di muko dianggap sarok.”(Segala sesuatu dianggap paku, karena pikiran dikuasai palu; Karena pikiran didominasi sapu, segala sesuatu dianggap sampah).

Bagi masyarakat dan pemerhati Minangkabau, TM adalah yang ditulis, sementara penulis tambo tersebut mengakui TM yang mereka tulis berdasarkan pengetahuan mereka dari lisan pelaku adat. Bagi sebagian sejarawan: TM itu 98% lumpur. Bagi peneliti sastra: TM hanyalah salah satu jenis prosa, tidak sama dengan pantun, berbeda dengan petatah-petitih, berbeda dengan Pasambahan dan Pidato Adat Minangkabau,bahkan berbeda dengan UUM. Bagi penulis adat Minangkabau mutakhir istilah TM dihapus, isinya dipecah-pecah menjadi: pedoman adat, pedoman pengulu, mustika adat, petuah adat, dan sebagainya. Penghapusan terbesar terjadi terhadap tiga kaba yang dianggap kontroversial.

5.1. TM Bukan Saduran

Wujud TM tertulis, naskah TM sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi), dan sebagian kecil ditulis dengan huruf Latin. Jumlah naskah yang sudah ditemukan adalah 83 naskah. Judulnya bervariasi, antara lain Undang-Undang Minangkabau, Tambo Adat, Adat Istiadat Minangkabau, Kitab Kesimpanan Adat dan Undang-Undang, Undang-Undang Luhak Tiga Laras, dan Undang-Undang Adat.

Dalam berbagai literatur dinyatakan:

“Pada umumnya Tambo Minangkabau adalah karangan saduran, oleh sipenyadur tidak menyebutkan sumbernya sehingga seolah-olah merupakan hasil karyanya. Ada 47 buah tambo asli Minangkabau yang tersimpan di berbagai perpustakaan di luar negeri, 10 di antaranya ada di Perpustakaan Negara Jakarta, satu sama lainnya merupakan karya saduran tanpa diketahui nama asli pengarangnya.”

Menyatakan Tambo Minangkabau sebagai saduran adalah suatu kesalahpahaman. Para penulis Tambo Minangkabau tidak menyadur dari karya siapapun, karena mereka mengambil langsung dari para pemakai asli, para pemangku adat, tokoh-tokoh adat, dan dari pemahaman mereka sendiri sebagai orang Minangkabau. Tidak ditemukan penulis TM yang menyebutkan siapa penulis atau sumber sebelum mereka.

Semua itu sebenarnya dapat dijelaskan melalui pantun yang sering dijadikan awal pembuka naskah Tambo Minangkabau.

“Kaik bakaik rotan sago
Alah takaik di aka baha
Tabang ka langik tabarito
Tibo di bumi jadi kaba
Banda urang kami bandakan,
Banda urang Koto Tuo
Kaba urang nan kami kabakan,
Duto urang, kami ndak sato”
Dalam kedua pantun tersebut jelas bahwa TM adalah berita, kabar yang tersebar di tengah masyarakat. Kabar/berita itu tidak menyebutkan sumber. Penyampai atau penulis TM meneruskan, bukan mereka yang mengarang. Naskah TM bukan saduran karena tidak ada sumber asli yang dijadikan bahan untuk disadur. Bahan TM langsung dari tengah masyarakat pelaku adat, termasuk si penulis sendiri dengan pemahaman dan interpretasinya masing-masing. Sehingga sangat wajar terjadi banyak versi TM.

5.2. Tambo Sebuah Kesatuan yang Utuh

Reduksi berkepanjangan terhadap TM menyebabkan terjadinya pemahaman parsial, terpecah-pecah, penghapusan/ penghilangan bagian tertentu, pemisahan unsur-unsur TM satu dengan yang lainnya. Akhirnya TM “hilang” secara keseluruhan. Bagian-bagian (paco-paco) TM tetap menyebar di tengah masyarakat, tapi dipahami sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, tanpa kaitan satu sama lain.

Tiga kaba dalam TM dipahami sebagai sesuatu yang lain, atau dipahami secara tidak tepat, dipahami sebagai “sejarah” yang absurd, atau dicemooh sebagai sesuatu yang irrasional. Ketidakmampuan menangkap/memahami makna dan fungsi rahasia ketiga kaba tersebut menyebabkan terjadinya pengingkaran atau penghapusan. Keadaan ini seperti kata pepatah: Dek tak paham caro maikek, parmato disangko batu tacampak. Karena tidak memahami cara mengasah/ mengikat, permata (yang harusnya berharga) dianggap batu yang terbuang.

Ada yang menganggap salah satu kaba tersebut sebagai keseluruhan TM. Dengan pemahaman seperti itu, TM direduksi jadi sebagian kecil isi TM. Bagian lain yang lebih besar dan tidak kalah penting justru dikeluarkan dan diberi label “bukan Tambo Minangkabau”.

Pada sisi lain, terdapat para pencinta TM yang memaksakan kaba sebagai “catatan sejarah” peninggalan niniak muyang. Terjadi berbagai usaha mencocok-cocokkan kaba dalam TM dengan sejarah. Sebagian memperoleh justifikasi dan pengakuan, sebagian lain memperoleh cemoohan.

Apa sesungguhnya yang harus dilakukan agar TM dipahami?
Harus dilakukan pemahaman ulang secara komprehensif dengan para pemakai TM di masyarakat. Berusaha memahami TM dari proses terjadinya TM, menurut kacamata pelaku adat sebagai pengguna TM, dan menurut pemahaman terhadap data-data “sejarah hadirnya TM” di tengah masyarakat , masyarakat adat maupun masyarakat akademis.

Dari proses terjadinya TM, penulis memandang TM sebagai sebuah kesatuan yang utuh warisan niniak muyang melalui sastra lisan. Utuh dalam arti tidak terpisah antara 3 kaba dengan aturan adat, UUM. Utuh dalam arti TM memuat semua jenis atau bentuk sastra lisan: pantun, pidato pasambahan, gurindam, seloka, mamang, petuah dan semua Mustika Bahasa Minangkabau. Seperti tulisan Kato yang memandang TM secara holistik, komprehensif. Tambo dipandang Kato (2006) sebagai: “…  (karya) lisan dan kemudian ditulis…,  … himpunan cerita-cerita tentang asal-usul dan peraturan-peraturan adat (hukum adat).”

5.3. Memahami Tiga Kaba Dalam Tambo Minangkabau

Setidaknya terdapat tiga kaba dalam TM, yaitu: Kaba Alun Baralun, Kisah Adu Kabau, dan Kaba Cindua Mato. Ketiga kaba dalam TM adalah bagian integral yang menjadi bingkai tempat menitipkan pesan-pesan niniak muyang. Kaba tersebut dapat berdiri sendiri, tapi dia akan kehilangan maksud sesungguhnya. Kaba akan utuh jika dibaca/disampaikan sekaligus dengan isi/muatan pesan yang ada dalam kaba tersebut.

Kaba Alun Baralun (KAB) sebagai kaba pertama membawa seperangkat pesan “titipan” tentang ketentuan bernagari.  Sebaliknya, ketentuan-ketentuan bernagari menjadi bermakna dan utuh jika disampaikan dalam bingkai KAB. Ketentuan bernagari dapat saja dikutip sebagai UUM, dan pengutipan tersebut terus berlangsung sampai saat ini.

Dalam memahami TM, ketentuan bernagari tersebut hanya memperoleh makna dan memiliki “ruh” ketika berada dalam bingkai KAB. Disinilah peran KAB sebagai bingkai pesan niniak muyang tentang bagaimana membangun nagari. Dalam konteks TM, KAB menjadi wadah bagi ketentuan bernagari, dan ketentuan bernagari menjadi muatan terpenting yang dibawa KAB. Secara keseluruhan, ketentuan bernagari tidak akan mungkin diwariskan niniak muyang tanpa bingkai KAB yang luar biasa. KAB luar biasa menarik, juga luar biasa kontroversial. Dengan keluarbiasaan tersebut KAB terekam kuat dalam ingatan orang Minang.

Struktur TM sangat mudah dipahami jika didengar/dibaca keseluruhan TM sebagai sebuah kesatuan. TM dimulai dengan Kaba Alun Baralun. KAB adalah struktur awal berfungsi sebagai pendahuluan dalam sebuah karya. Dalam KAB ini ada kaba sebagai bingkai, dan ada seperangkat pesan yang dititipkan pada bingkai tersebut. Pesan dalam KAB berisi pandangan filosofis tentang asal-usul, dan seperangkat pesan tentang ketentuan-ketentuan bernagari: tentang kepemimpinan, sistem bernagari, pembagian wilayah tiga luhak, darek, rantau, masing-masing dengan sistemnya.

Setelah ketentuan bernagari diuraikan dengan bingkai KAB, TM bagian kedua dimulai dengan “Kisah Adu Kabau” yang membesarkan posisi dua datuk. KAK adalah struktur bagian tengah yang membingkai ketentuan-ketentuan adat lebih rinci tentang sistem kemasyarakatan: jenis dan tingkatan adat, struktur kepemimpinan adat di ketiga luhak, di darek dan di rantau.

Bingkai ketiga adalah Kaba Cindua Mato, yang dalam berbagai versi TM juga disebut Kisah Bundo Kanduang. Pada bingkai ketiga ini dititipkan sangat banyak pesan tentang pedoman cara hidup bermasyarakat, pedoman hidup seorang manusia Minangkabau, laki-laki maupun perempuan, inilah keseluruhan UUM. Umumnya TM ditutup dengan bab “Martabat Kato”, pedoman berkomunikasi.

Jadi, struktur TM tersebut dapat disederhanakan menjadi:

1.  Landasan filosofis bernagari dengan bingkai KAB;

Struktur dan sistem kepemimpinan adat dengan pembuka KAK;
Pedoman hidup manusia Minangkabau dengan bingkai KCM, yang ditutup dengan pedoman berkomunikasi.
Penutup:

Tambo Sebagai Media Pendidikan

Masyarakat Minangkabau ditakdirkan hidup di atas wilayah ring of fire, pusat-pusat pergeseran lempeng kulit bumi yang membuahkan gempa-gempa dahsyat. Ada masa ketika nenek-moyang orang Minangkabau berusaha meninggalkan jejak sejarah, seperti ratusan menhir di Mahat, sampai beberapa situs batu-batu zaman megalitikum, juga candi-candi. Tapi perjalanan waktu di tengah gempuran-gempuran alam, terutama gempa, mengikis kebiasaan-kebiasaan tersebut, karena bangunan apapun di atas wilayah ini akan hancur, rapun dilanyau oleh gempa.

Keinginan meninggalkan jejak merupakan ilham dan irhas yang diberikan Allah kepada seluruh manusia. Orang Minang dahulu telah melihat tidak ada yang bertahan menghadapi gempuran dahsyat alam Pulau Paco, pulau perca, pecahan-pecahan/potongan-potongan. Tidak ada jejak yang akan bertahan.

Mereka terus mencari sesuatu, sesuatu yang “Indak Lakang dek Paneh, Indak Lapuak dek Hujan” untuk diwariskan kepada anak cucu. Apakah sesuatu yang dapat bertahan seperti itu? Alam menunjukkan:  Yang Tidak Lekang oleh Panas, Tidak Lapuk oleh Hujan itu hanyalah  sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang berkembang, itulah kato. Kato, kata-kata lisan, bukan tulisan, di atas batu sekalipun. Niniak muyang orang Minangkabau memilih cara “kato” untuk meninggalkan “jejak”.

Kata-kata lisan tersebut harus menyebar ke seluruh orang Minangkabau. Menyebar dan terekam dalam pikiran, keseharian, angan-angan, bahkan mimpi-mimpi mereka. Kata-kata itu harus terpahat/terpatri di hati. Maka harus indah, lahirlah petatah/petitih, pantun, pidato pasambahan, gurindam, petuah, mamangan, berbagai bentuk sastra lisan.

Sastra lisan itu harus tersebar, diperlukan wadah untuk menyebarkannya. Orang Minangkabau menciptakan berbagai arena untuk menyebarkan kata-kata jejak tersebut. Arena itu melembaga di masyarakat dan sebagian besar masih ada bahkan berkembang sampai sekarang.  Tradisi lisan itu berlangsung dalam beberapa kegiatan atau lembaga sosial:

1. Tradisi kaba, bakaba, serta segala variasinya, seperti sijobang, dendang, rabab, salawat dulang, dll.

2. Tradisi pasambahan, panitahan, pidato adat, basurah adat, kato-bajawek-gayuang-basambuik, serta segala variasinya, yang terus berlangsung sampai sekarang, sepanjang zaman pada setiap galanggang dan upacara adat.

3. Tradisi maota di lapau yang masih berlangsung;

4. Tradisi surau.

Tambo adalah media pewarisan nilai-nilai yang ditinggalkan oleh niniak muyang orang Minangkabau, dalam bentuk sastra lisan, pepatah/petitih, prosa liris yang pernah mampir pada pendengaran dan ingatan sebagian besar orang Minangkabau. Nilai-nilai itu insya-Allah pernah mampir di 98% orang Minangkabau, bukan hanya pada 2%. Bahkan mungkin 99,9% orang Minangkabau sepanjang zaman telah tersentuh oleh Tambo Minangkabau. Sejauh apapun seorang anak Minangkabau dari kampungnya, insya-Allah dia pernah tersentuh tambo.

Pengaruh empat lembaga penyebaran TM menyebabkan siapapun orang Minangkabau pernah merekam bagian-bagian tertentu dalam ingatannya. Salah satu (kalau tidak keempat) lembaga tersebut pasti pernah meninggalkan jejak dalam ingatan orang Minangkabau. Siapapun orang Minangkabau tentu pernah mendengar salah satunya: kaba, carito, pepatah-petitih, pituah, mamang, pantun atau kosa kata dari TM; di mana pun dia lahir atau dibesarkan. Di rantau sejauh apa pun, tentu ada jejak nilai dari TM dalam ingatannya, walau hanya sepotong kecil petuah, atau sebuah istilah, seperti: raso pareso, alua jo patuik, malu jo sopan, nan baiak budi, nan indah baso, bundo kanduang, pangulu, niniak mamak, cadiak pandai …. dll.

TM, atau apapun istilah untuk petuah/pedoman/undang-undang adat Minangkabau tersebut dapat dinyatakan eksis dan nyata terekam dalam ingatan setiap orang Minangkabau, di manapun, dalam keadaan apapun. Bangunan TM menyebar dalam berbagai ukuran pada seluruh orang Minangkabau, sepanjang zaman. Inilah jejak sejarah yang jarang dicari bandingannya. Mungkin hanya kalah dibanding hafalan para hafidz dan hafidzah terhadap bacaan mulia Al-Qur’anulkarim. Kalah karena sumbernya lebih rendah dari Al-Qur’an.

Seluruh orang Minangkabau adalah pengingat, penghafal TM atau bagian/paco-paco TM, dalam berbagai variasi kualitas dan kuantitas. Adalah sebuah kebanggaan bagi seorang Minangkabau, ketika dia mampu menyampaikan sepatah-dua patah kata, ungkapan, dari TM. Sesederhana apapun, benar atau salah, dia akan menyatakan dengan rasa bangga. Tiap orang Minangkabau dengan bangga akan mengutip sepotong kata bertuah itu, seolah berkata: “Ini artefak sejarah dari leluhur saya. Ini bukti saya memperoleh warisan dari Minangkabau.”

TM, termasuk kaba niniak muyang orang Minangkabau, adalah jejak, adalah artefak, peninggalan sejarah, sebagaimana piramid, sphink, Borobudur atau Prambanan. Inilah “bangunan purbakala” yang sepanjang masa direnovasi, selalu dipakai, diulang, diucapkan, dikomentari oleh jutaan orang. Bangunan yang punya duplikat paling banyak, karena dibangun di atas memory board ingatan jutaan manusia.

Inilah buah dari breeding ground, ladang persemaian yang empat lembaga: kaba-pasambahan-surau-lapau, dengan segala variasinya. Inilah jejak itu. Inilah artefak luarbiasa yang menjadi bangunan Indak Lakang dek Paneh, Indak Lapuak dek Hujan. Jejak penuh nilai-nilai. Tambo menjadi media pendidikan sepanjang masa yang menyebar serta terpakai pada empat jenis “lembaga pendidikan adat” Minangkabau: kaba-pasambahan-surau-lapau.

Tambo adalah sastra lisan, karena nenek moyang memilih sebuah wadah “kata-kata” yang ditunjukkan oleh alam sebagai sesuatu yang Indak Lakang dek Paneh, Indak Lapuak dek Hujan. Nenek moyang orang Minangkabau berguru kepada alam untuk mendapatkan wadah tersebut, termasuk untuk seluruh rangkaian nilai kehidupan di dalamnya. Allah, melalui ilham dan irhas-Nya memberikan petunjuk agar berguru kepada alam. Ilham dan irhas tersebut diberi rangka oleh orang Minang dengan mamangan adat yang berbunyi Alam Takambang Jadi Guru. Insya-Allah ini hak paten niniak muyang orang Minangkabau.

Tambo adalah buah paradigma pendidikan Minangkabau: Alam Takambang Jadi Guru.

Wallahu’alam bi al shawwab.



Kepustakaan

A Adnan Sutan Mangkuto, 1960, Masjarakat, Adat dan Lembaga Minangkabau;

Amir MS, 2003, Tanya Jawab Adat Minangkabau:Hubungan Mamak Rumah dengan Sumando, Jakarta: Mutiara Sumber Widya;

Bahar Datuk Nagari Basa, 1966, Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau, Payakumbuh: Eleonora.

Djamaloe’ddin gelar Soetan Maharadjo Lelo, 1956, Tambo Adat Minangkabau,

Edwar Djamaris, 2001, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Edwar Djamaris, 2001, Tambo Minangkabau, Suntingan Teks dan Analisis Struktur Jakarta: Balai Pustaka.

Herwandi (ed.), 2004, Mambangkik Batang Tarandam, Kumpulan Makalah Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau,

Hadji Datoeak Toeah, 1954, Tambo Alam Minangkabau.

H Julius Dt Malako Nan Putiah, 2007, Mambangkik Batang Tarandam, dalam Upaya Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, Bandung: Citra Umbara.

Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo, 1919, Curaian Adat Minangkabau,

Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo, 1919, Curai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau,

Ibrahim Datoe’ Sanggoeno Di Radjo Dahler Abdul Madjid Sm. Hk, Radjo Mangkuto (Datuk.), 1979, Mustika Adat Alam Minangkabau, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah;

Jeffrey Alan Hadler, 2008, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism, USA: Cornell University Press;

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, 2000, Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau, Padang: Yayasan Sako Batuah;

M Rasjid Manggis Dt Radjo Panghulu, 1982, Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya, Jakarta: Mutiara.

Parlindungan, Mangaradja Onggang (1964) Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Jogjakarta: Penerbit Tandjung Pengharapan.

Sjafnir Abu Nain, 2006, Sirih Pinang Adat Minangkabau:Pengetahuan Adat Minangkabau Tematis, Padang: Sentra Budaya.

Tsuyoshi Kato, 1977, Social Change in a Centrifugal Society: The Minangkabau or West Sumatra

Tidak ada komentar:

PESONA DANAU KEMBAR

Serupa tapi tak sama namun keindahannya sebanding, itulah Danau Di Atas dan Danau Di Bawah di Solok, Sumatera Barat. Kedua danau ini berdamp...