Translate

Sabtu, 28 April 2018

SKETSA MERANTAU ORANG MINANG

Ada sebuah lagu minang yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, berjudul "OTO PLB". Lirik lagunya sebagai berikut: Oto PLB, oto nagari Lintau Manambang ka Pakanbaru, mamuek patai jo jariang – 2x Taragak mandeh nan den tingga marantau Ka pulang bara ka malu, indak ciek nan tajinjiang – 2x Reff: Oto PLB baranti di Lubuak Bangku oi tuan Pasisia turun singgah makan jo goreang ayam Bia lah tandeh den kini dek parasaian oi tuan Pado tasisiah denai di kampuang halaman Lagu yang dikarang oleh Chilung R. ini mengungkapkan beberapa sisi kehidupan orang minang, antara lain tentang kisah anak rantau. Seperti kita ketahui orang minang adalah orang yang jiwa merantaunya paling tinggi di Indonesia. Mochtar Naim pernah mengungkapkan jiwa merantau suku minangkabau yang tinggi ini dalam buku-bukunya. Tingginya jiwa merantau suku minangkabau ini tidak dilihat dari jumlah orang minang yang ada di rantau, tapi dari persentase orang yang merantau. Kalau diukur dari jumlah orang yang merantau saja, maka jumlah yang terbanyak tentulah orang suku jawa. Tapi dari persentase, maka jumlah orang minag yang merantau dibanding dengan orang minang yang ada di kampung, maka suku minang adalah yang tertinggi. Sudah banyak yang membahas tentang sifat merantau orang minang ini, termasuk motivasi atau tujuan merantau, serta pola hubungan antara rantau dan kampung. Kata-kata dalam lagu di atas, pada isi setelah sampiran bait pertama menggambarkan bahwa seorang perantau merasa malu kalau pulang tidak membawa oleh-oleh. Walaupun dalam lagu tersebut disebutkan sesuatu (oleh-oleh) untuk mandeh, pada kenyataannya itu juga mencakup untuk sanak familinya di kampung. Bagi perantau yang sukses, dengan hartanya banyak, menyiapkan bingkisan/oleh-oleh untuk sank-saudara di kampung tentu tidak masalah. Lain halnya dengan sebagian perantau lain, yang hidupnya sebenarnya pas-pasan. Mereka terpaksa menguras habis tabungannya, bahkan ada yang terpaksa berhutang agar tampil gagah waktu pulang. Biasanya waktu pulang orang rantau adalah ketika hari raya idul fitri. Di antara yang pulang kampung ini ada yang merental mobil sekian hari, dengan tidak lupa menyiapkan sejumlah uang untuk dibagi-bagikan kepada sanak saudara di kampung. Di kampung ia kemudian mendapat pujian, walaupun ketika kembali ke rantau hatinya jadi galau memikirkan biaya hidup selanjutnya. Keadaan seperti ini tergambar pula pada kalimat terakhir di bait kedua dalam lagu di atas, yakni "bialah tandeh den kini...(biarlah habis-habisan saya) pado tasisiah di kampuang halaman (daripada tidak dianggap atau dikucilkan di kampung)". Ada pula perantau, untuk menunjukkan kesuksesannya di rantau, kemudian membangun rumah megah di kampung. Padahal rumah megahnya itu hanya dikunjungi sekali atau dua kali setahun saja. Selebihnya dibiarkan kosong. Untuk merawat/menjaga rumahnya itu maka disuruhlah (diupah) seseorang di kampung. Dulu pernah ada yang menulis bahwa ada seorang perantau yang rumahnya di rantau tidak terlalu megah, bahkan kesannya cukup sederhana. Tapi ia membangun rumah yang (cukup) megah di kampung. Barangkali perantau seperti ini tergolong yang ingin menjaga gengsi (prestise). Dulu pernah ada sebuah tulisan yang mengungkapkan masalah ini, yakni tentang penghargaan sebagian orang minang terhadap keberhasilan seseorang. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa sebagian orang minang menghargai orang rantau apabila ia sukses dalam segi materi. Sebab, bagi orang ini, dengan materi yang dimilikinya kemudian ia menyumbang sana sini, masjid, atau infrastruktur fisik lainnya. Ia kemudia beroleh sanjungan, pujian. Sanjungan dan pujian kepada penyumbang materi dapat mengalahkan penyumbang ide atau pemikiran. Kemudian, seorang perantau yang kebetulan mempunyai posisi yang bagus di kantornya juga akan mendapat pujian/sanjungan apabila ia dapat memasukkan sanak-familinya bekerja di instansi tempatnya bekerja. Padahal mungkin saja sanak famili yang ditolong tersebut tidak melalui mekanisme yang patut. Karena itu, seorang anak rantau yang punya jabatan tapi tidak dapat atau tidak mau memasukkan sanak familinya bekerja di kantornya dengan cara nepotisme, maka ia kurang dihargai di kampungnya. Tapi tentu saja tidak semua orang kampung menghargai seseorang berdasarkan materi. Cukup banyak juga yang menghargai seseorang berdasarkan kontribusi lain selain materi.
Oleh: Prof.Badrul Mutafa

Tidak ada komentar:

PESONA DANAU KEMBAR

Serupa tapi tak sama namun keindahannya sebanding, itulah Danau Di Atas dan Danau Di Bawah di Solok, Sumatera Barat. Kedua danau ini berdamp...